
Dialogis.id, Parigi Moutong – Suasana khidmat menyelimuti halaman Rumah Jabatan Bupati Parigi Moutong, Sabtu pagi, 14 Juni 2025. Denting gendang berpadu dengan lenggak-lenggok Tarian Meaju menandai penyambutan adat bagi Bupati Parigi Moutong, H. Erwin Burase, dan Wakil Bupati Abdul Sahid, yang baru saja tiba bersama keluarga.
Penyambutan ini menjadi ritual sakral bukan semata seremoni, melainkan penghormatan tertinggi dari masyarakat adat Parigi atas kehadiran resmi pemimpin di tanah yang akan mereka pimpin. Sebuah penghormatan, sekaligus pengingat akan tanggung jawab yang kini dipikul di pundak keduanya.
Tarian Meaju, yang dibawakan oleh para tetua adat, membuka prosesi dengan makna simbolik: seorang “raja” telah kembali ke tanahnya. Diikuti dengan ritual ri po isaka, penginjakan kaki ke dalam dulang adat berisi simbol-simbol sakral seperti ira gamongi batoko, siranindi, fase/tamoko, dan boko-boko. Semuanya menyimbolkan permohonan keselamatan, keteguhan hati, dan perlindungan dari Yang Maha Kuasa.
“Ini bukan hanya menyambut pemimpin, tapi menyucikan jalannya,” ujar salah satu tokoh adat yang terlibat dalam ritual tersebut.
Doa-doa dilantunkan dengan penuh takzim. Para tetua adat memohonkan agar Bupati dan Wabup dijauhkan dari mara bahaya, diberi kebijaksanaan, dan kekuatan moral dalam memimpin. Tak hanya untuk mereka secara pribadi, namun juga demi kemakmuran seluruh masyarakat Parigi Moutong.
Puncak acara ditandai dengan pemasangan Siga oleh Magau Parigi, sebuah penobatan simbolik atas kepemimpinan resmi. Prosesi ditutup dengan Raulu Cinde dan taburan beras kuning, melambangkan keselamatan, berkah, dan kemuliaan.
Prosesi adat ini mempertegas bahwa di Parigi Moutong, kepemimpinan tidak hanya dimandatkan lewat surat keputusan, tetapi juga disahkan oleh kearifan lokal yang dijaga turun-temurun. Di balik kain adat dan doa-doa kuno itu, tersimpan pesan: seorang pemimpin adalah bagian dari tanah yang dipimpinnya, dan adatlah yang mengikatnya pada rakyat.
Sumber: Diskominfo Kabupaten Parigi Moutong / Nur