
Dialogis.id, Parigi Moutong – Sebanyak 315 Guru Pendamping Khusus (GPK) dari jenjang SD dan SMP mengikuti bimbingan teknis (bimtek) pendidikan inklusif yang digelar Dinas Pendidikan Parigi Moutong, Selasa, 29 Juli 2025. Program ini disebut sebagai upaya mewujudkan sekolah ramah bagi semua anak, termasuk mereka yang berkebutuhan khusus.
Namun, di balik semangat itu, tantangan di lapangan masih besar. Fasilitas pendidikan ramah disabilitas di Parigi Moutong minim, sementara GPK kerap harus bekerja melebihi kapasitas karena jumlah siswa berkebutuhan khusus tak sebanding dengan tenaga pendamping.
“Kita ingin GPK tidak hanya menjadi pendamping, tapi juga penggerak utama dalam menciptakan lingkungan belajar yang ramah, adil, dan berkeadilan,” ujar Kepala Bidang SD Disdik Parigi Moutong, Ibrahim.
Dalam bimtek ini, GPK dibekali pemahaman dasar tentang asesmen kebutuhan belajar, penyusunan rencana pembelajaran individual, strategi adaptif, hingga praktik baik dari lapangan. Narasumber berasal dari Widyaprada BPMP dan psikolog klinis.
Ibrahim menegaskan, pendidikan inklusif tidak bisa hanya mengandalkan GPK. Dibutuhkan kolaborasi dengan guru kelas, guru mata pelajaran, dan kepala sekolah.
“Mari kita pastikan tidak ada anak yang tertinggal dalam proses belajar,” katanya.
Meski demikian, sejumlah kalangan menilai langkah ini baru sebatas pintu masuk. Tanpa dukungan kebijakan yang lebih kuat seperti alokasi anggaran fasilitas, pelatihan berkelanjutan, dan perekrutan GPK tambahan pendidikan inklusif berpotensi hanya menjadi jargon.
Data terbaru menunjukkan jumlah anak berkebutuhan khusus di Parigi Moutong terus bertambah setiap tahun. Tetapi, jumlah sekolah dengan layanan inklusi masih terbatas. Situasi ini membuat sebagian anak terpaksa menempuh pendidikan di luar daerah atau bahkan tidak bersekolah sama sekali.
Bimtek kali ini membuka harapan, tetapi sekaligus menegaskan pekerjaan rumah pemerintah daerah: menjadikan inklusi bukan hanya visi, melainkan kenyataan di setiap ruang kelas.
Laporan : M. RIdwan Sukri