
Dialogis.id – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan sebagian besar wilayah di tanah air akan mengalami musim kemarau lebih awal dari biasanya pada 2023.
“Musim kemarau 2023 di Indonesia maju ada 289 zona musim atau 41,34 persen zona musim mengalami musim kemarau,” ujar Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG, dalam konferensi pers daring, Senin (6/3).
“Wilayah yang awal kemaraunya diprediksi maju yaitu sebagian wilayah Sumatera Utara, sebagian Jawa, sebagian kecil Bali, sebagian Nusa Tenggara, sebagian Kalimantan, dan sebagian Sulawesi,” imbuhnya.
Dwikorita menambahkan 29 persen wilayah atau 200 zona musim akan mengalami musim kemarau pada waktu yang normal. Selain itu, 95 zona atau sekitar 13,6 persen wilayah yang waktu musim kemaraunya mundur.
Menurut dia, kategori normal kedatangan musim kemarau ini mengacu pada musim kemarau periode 1991 hingga 2020.
Ia mengatakan hampir setengah wilayah Indonesia akan mengalami kemarau yang lebih kering dari biasanya atau yang dalam istilah BMKG disebut sebagai “di bawah normal.”
Padahal, menurutnya, Indonesia sudah terbiasa dengan musim kemarau yang basah karena fenomena La Nina.
“Selama tiga tahun berturut-turut 2020 hingga 2022 kita sudah mulai terbiasa dengan musim kemarau yang basah yang ‘di atas normal’, artinya sudah biasa ada hujan di musim kemarau.”
“Saat ini kembali ke normal bahkan ada potensi El Nino, artinya ada potensi lebih kering terutama dibandingkan 3 tahun ke belakang,” jelas Dwikorita.
Menurut data BMKG, 327 zona musim atau 47 persen wilayah Indonesia akan mengalami kemarau yang lebih kering.
Wilayah yang berpotensi lebih kering di antaranya Aceh bagian utara, sebagian Sumatera Utara, Riau bagian utara, Sumatera bagian selatan;
Selain itu, sebagian besar Jawa, Bali, sebagian Nusa Tenggara, Kalimantan bagian selatan, sebagian Sulawesi, Maluku Utara, Papua Barat bagian selatan, dan Papua bagian selatan.
Sebelumnya, para pakar sepakat bahwa Bumi kian memanas akibat peningkatan kadar gas rumah kaca (karbon dioksida, nitrogen dioksida, metana, dan freon) di atmosfer. Gas-gas ini prinsipnya memerangkap panas agar tak memantul ke luar angkasa.
Dalam kondisi lingkungan normal, keberadaan gas ini diperlukan untuk membuat Bumi hangat. Saat kadarnya berlebih, terutama akibat emisi karbon dari kendaraan bermotor dan industri, gas-gas ini memicu peningkatan panas secara global hingga memicu perubahan iklim.
Efek nyatanya adalah siklus hidrologi yang berubah, cuaca lebih ekstrem, musim hujan makin basah, musim kemarau makin kering. Ujungnya adalah bencana alam.
Sumber : CNN Indonesia